Cuaca akhir-akhir ini di tempat tinggal saya begitu menyenangkan. Rasanya seperti kembali ke masa kecil, di mana cuaca sejuk, bermain di luar rumah saat siang hari pun terasa nyaman. Sejak terjadi pandemi dan mobilitas manusia berkurang, suhu bumi mulai bersahabat. Tak ada perubahan iklim ekstrem seperti tahun sebelumnya.
Dilansir dari CNN Indonesia, pada Agustus 2019 lalu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut 92 persen wilayah Indonesia dilanda kemarau.[1]
Ada beberapa wilayah mengalami hari tanpa hujan ekstrem, yaitu tidak ada hujan hingga lebih dari 60 hari seperti di seluruh Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Penyebab kemarau panjang
Musim kemarau di tahun 2019 lebih panjang dibanding tahun sebelumnya. Banyak daerah di Indonesia terkena kekeringan, terjadi kelangkaan air bersih dan meningkatnya polusi udara di kawasan hutan gambut akibat kebakaran hutan serta kawasan dekat perkotaan.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Prof Dwikorita Karnawati MSc PhD, mengatakan ada beberapa fakta terkait musim kemarau yang cukup parah tahun ini.[2]
Suhu permukaan laut yang dingin
Penyebab kekeringan panjang 2019 salah satunya yaitu suhu permukaan laut lebih dingin di wilayah Indonesia terutama bagian selatan. Suhunya lebih rendah 0.5°C atau lebih dari kondisi normal pada periode Juni – November 2019.
Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulit tumbuh awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer, akibat rendahnya penguapan dari lautan.
Sehingga tampak kekeringan akibat rendahnya curah hujan pada periode musim kemarau dari bulan Juli hingga Oktober 2019.
Musim kemarau lebih panjang dari normal
Panjang musim kemarau 2019 di Indonesia cenderung lebih panjang dari normalnya. Pada tahun 2019, 46 persen dari 342 zona musim di Indonesia mengalami panjang musim kemarau sama hingga lebih panjang 6 dasarian (2 bulan) dari normalnya.
Data tanggal 20 Desember 2019, musim kemarau masih berlangsung di Jatim bagian timur, sebagian besar Pulau Sulawesi, sebagian Kepulauan Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.
Lebih kering dari 2018
Musim kemarau di 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau di 2018 serta acuan normal klimatologis tahun 1981-2010.
Meskipun, tak lebih kering dari kondisi musim kemarau tahun 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat pada waktu itu. Tingkat kekeringan juga ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari 3 bulan (90 hari) yang cukup merata terjadi di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa.
Terjadi karhutla cukup parah
Kualitas udara lingkungan memburuk akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pada bulan Agustus – Oktober 2019, BMKG mencatat konsentrasi debu polutan berukuran kurang dari 10 mikron (PM10) di wilayah Sumatera menunjukkan kecenderungan tinggi.
Di bulan September, konsentrasi semua wilayah di Sumatera melebihi nilai ambang batasnya (150 ug/m). Konsentrasi polutan di atas 450 ug/m terjadi di Pekanbaru pada 22-23 September yang mencapai 483.2 dan 420. 7 ug/m.
Masih ingat kejadian di Palembang yang tercatat 476.2 dan 490.5 ug/m pada 14-15 Oktober 2019.
Kondisi ini juga terjadi di Sampit dimana PM10 pada periode ini mencapai konsentrasi 211.2 ug/m. Pada tanggal 12 – 16 September 2019, konsentrasi harian di Sampit lebih dari 400 ug/m tiap harinya.
Sedihnya kemarau panjang dan kekeringan tahun ini turut memicu 52 kejadian kebakaran hutan dan lahan dan bencana asap.
Musim hujan datang terlambat
Kedua fenomena kopel atmosfer lautan dari sebelah timur dan sebelah barat Indonesia itu memiliki andil dalam membuat musim kemarau bertambah panjang dan kuat serta menjadikan musim hujan datang terlambat tahun ini.
Kenapa perubahan iklim bisa terjadi?
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia.
Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang di antaranya, terdiri dari Karbon Dioksida, Metana, Nitrogen, dan sebagainya.
Nah, hingga saat ini energi yang diterima dari matahari semakin lama semakin banyak. Tapi proses pengeluaran energi tersebut terhambat atau terpantulkan karena adanya efek rumah kaca.
Cara kerjanya sama seperti rumah kaca. Lapisan atmosfer diibaratkan kaca di rumah kaca. Sedangkan bumi ada di dalamnya. Begitu sinar matahari masuk ke dalam rumah kaca, sebagian panas terperangkap di rumah kaca dan sebagian panas lainnya di pantulkan ke luar atmosfer.
Gas di atmosfer seperti karbondioksida (CO2), dapat menahan panas matahari sehingga panas matahari terperangkap di dalam atmosfer bumi. Hal ini yang menyebabkan udara makin panas.
Seharusnya panas dari matahari dipantulkan ke luar atmosfer menjadi terperangkap di atmosfer sehingga suhu di bumi naik.
Peran manusia dalam perubahan iklim
Aktifitas manusia berupa pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi dan kegiatan industri menjadi penyebab efek rumah kaca. Selain itu terjadi akibat aktifitas rutin manusia seperti:
Mengendarai kendaraan bermotor
Bensin mengandung banyak polusi kimia termasuk CO2. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer kita, pada 2018, adalah yang tertinggi dalam 3 juta tahun. Serem amat ya.
Sampah
Tempat pembuangan sampah merupakan lokasi pembusukan sampah yang mengandung banyak gas metana yaitu emisi gas rumah kaca yang menurut Indeks Potensi Pemanasan Global, efeknya 21 kali lebih beracun daripada gas karbondioksida.
Alat pendingin
Kulkas Gas CFC dapat menciptakan kondisi buruk efek rumah kaca 10 ribu kali lebih buruk dari CO2. CFC juga menghancurkan ozon, bagian penting yang berada di lapisan atas atmosfer. Senyawa ini berada dalam alat pendingin di rumah kita seperti AC dan kulkas
Pertanian dan peternakan
Saat petani menambah pupuk penyubur nitrogen ke dalam tanah, beberapa dari nitrogen tersebut berubah menjadi Nitro Oksida (N2O), gas rumah kaca yang sangat kuat.
Sapi menciptakan gas metana saat rumput mengalami peragian di perut mereka. Ada sekitar 1,2 miliar ternak sapi didunia, semuanya menambah kadar gas rumah kaca seluruh dunia.[3]
Cara antisipasi dampak perubahan iklim
Ada dua strategi utama untuk mengurangi ancaman yang disebabkan oleh perubahan iklim adalah mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi adalah segala tindakan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca secara keseluruhan di atmosfer bumi. Mitigasi mencakup berbagai upaya untuk beralih dari bahan-bakar fosil ke sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, atau untuk meningkatkan efisiensi energi. Mitigasi juga mencakup berbagai upaya untuk menanam pohon dan melindungi hutan, atau untuk menanami lahan pertanian dengan cara-cara yang dapat mencegah gas rumah kaca memasuki atmosfer kita.
Adaptasi adalah segala tindakan yang menjadikan penduduk, ekosistem dan infrastruktur tidak rentan terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi mencakup hal-hal seperti membangun pertahanan (baik buatan manusia atau alami) untuk melindungi daerah pesisir dari naiknya permukaan air laut, beralih ke varietas tanaman pangan yang tahan kering dan banjir, dan meningkatkan sistem peringatan gelombang panas, wabah penyakit, kekeringan dan banjir.[4]
Kedua upaya ini bisa lho dilakukan sendiri meski di rumah aja selama masa pandemi.
Cara antisipasi dampak perubahan iklim meski di rumah aja
Belakangan ini gaya hidup minim sampah digaungkan oleh berbagai pihak. Yang bisa saya lakukan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pribadi dan sudah dilakukan saat ini yaitu dengan upaya mitigasi dan adaptasi. Dengan menerapkan kebiasaan baik mengurangi sampah, memilah sampah, menghemat energi, mulai bercocok tanam di rumah.
Contohnya:
✅ Selalu membawa tas belanja lipat di tas atau saat akan belanja, agar tak perlu memakai plastik belanjaan dari toko.
✅ Memilah sampah mulai dari rumah sendiri dan lakukan komposting dengan sampah organik. Sebab sampah organik menghasilkan metan.
✅ Bila sampah organik bisa diolah sendiri untuk jadi pupuk di taman, maka sampah anorganik bisa di serahkan pada tukang sampah.
✅ Berusaha mengurangi sampah yang dihasilkan tiap harinya. Pakai kembali barang-barang yang bisa dipakai. Seperti kardus, botol plastik, wadah plastik dan sebagainya. Selalu bawa botol minum, wadah makan, sendok garpu sendiri.
✅ Daur ulang sampah menjadi barang yang bermanfaat (komposting)
✅ Jika harus memakai plastik, sebaiknya beli plastik yang oxo-degradable atau bio-degradable agar lebih ramah pada lingkungan.
✅ Sekecil-kecilnya sampah, buanglah sesuai tempatnya.
✅ Beralih ke menstrual cup dan cloudi sebagai penganti pembalut dan popok sekali pakai.
✅ Menghemat air dan listrik meskipun di rumah aja. Gunakan air dan listrik seperlunya, jangan sampai mubazir.
Jumat, 15 Mei lalu oleh Ruang Publik KBR oleh Kantor Berita Radio dengan topik Bijak pakai energi di tengah pandemi.
“Jangan mentang-mentang PSBB di rumah, bisa sembarang pakai energi yang ada di rumah. Tetap harus ada gaya hidup yang dipertahankan yaitu memakai energi secara bijak,” tutur Verena Puspawardani sebagai Direktur Program Coaction Indonesia.
“Ada banyak vampir energi yang banyak menyedot kosumsi energi harian,” ungkap Andrian Pram sebagai Penasihat Komunitas Earth Hour.
Kebiasaan seperti selalu menancapkan kabel pengisi daya terus menerus meskipun dalam kondisi tak terpakai, televisi dibiarkan menyala terus meski penontonnya sudah tidur nyenyak. Nah loh mulai ngerasa?
Selain bijak pakai energi mba Verena juga berpesan agar bijak berbelanja online, bijak mengonsumsi pangan.
Sekarang giliranmu untuk ikut serta mengatasi dampak perubahan iklim meski di rumah aja untuk kesehateraan masa depan anak cucu kelak. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga kelestarian bumi?
Saya sudah berbagi pengalaman soal climate change. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Climate Change” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis”.
Syaratnya bisa dilihat disini
Sumber referensi :
[4]
UNESCO, 2019, Menyampaikan pesan: meliput perubahan Iklim dan pembangunan berkelanjutan di Asia dan Pasifik: buku panduan untuk jurnalis, Kantor UNESCO Jakarta dan Biro Regional Sains Asia Pasifik